Menata Ulang Paradigma Hukum Pajak di Indonesia

12 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Senyum Percaya Diri: Investasi Kesehatan Mulut dan Gigi bagi Kehidupan Remaja dan Dewasa
Iklan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP yang sudah beberapa kali direvisi, termasuk lewat UU Nomor 28 Tahun 2007

***

Hukum pajak sejatinya adalah jembatan antara negara dan rakyatnya. Pasal 23A UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa segala pungutan pajak harus diatur dengan undang-undang. Dengan dasar ini, pajak menjadi kewajiban hukum yang tidak bisa ditawar. Namun persoalan terbesar kita bukan pada aturan yang kurang, melainkan pada bagaimana hukum pajak itu dijalankan. Banyak orang merasa dipaksa membayar, tetapi tidak merasakan manfaat yang sebanding.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika ditelusuri, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP yang sudah beberapa kali direvisi, termasuk lewat UU Nomor 28 Tahun 2007, sebenarnya sudah cukup memberi kerangka bagi kepastian hukum. Di dalamnya diatur hak dan kewajiban wajib pajak, juga sanksi bagi yang melanggar. Namun praktik menunjukkan adanya jurang antara teks hukum dan kenyataan. Korupsi di tubuh perpajakan, seperti kasus Gayus Tambunan, masih membekas sebagai trauma publik bahwa hukum pajak bisa diselewengkan oleh oknum.

Keadilan menjadi titik lemah dalam praktik perpajakan kita. Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU No. 36 Tahun 2008) sebenarnya telah mengatur sistem progresif, di mana yang berpenghasilan tinggi membayar lebih besar. Secara teori, ini adalah jalan untuk redistribusi kekayaan. Tetapi faktanya, masih banyak perusahaan besar yang bisa menghindar melalui rekayasa laporan keuangan, sementara masyarakat kecil dipaksa taat secara ketat. Maka, wajar jika hukum pajak sering dianggap tidak adil.

Selain keadilan, kepercayaan juga menjadi modal penting. Ketika rakyat membayar pajak, mereka menuntut transparansi penggunaan dana itu. Sayangnya, laporan publik mengenai ke mana uang pajak disalurkan masih terbatas dan sulit diakses masyarakat. Padahal asas keterbukaan adalah semangat reformasi perpajakan. Jika kepercayaan hilang, sebesar apa pun sanksi dalam hukum pajak akan sulit memaksa orang untuk patuh.

Modernisasi perpajakan melalui sistem digital adalah langkah positif. Layanan daring yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak telah memudahkan masyarakat dalam melapor dan membayar. Tetapi teknologi bukanlah solusi tunggal. Penegakan hukum tetap menjadi kunci. Tanpa integritas aparat pajak dan pengawasan ketat, sistem secanggih apa pun bisa kembali dimanipulasi.

Saya berpendapat bahwa hukum pajak di Indonesia harus dibangun di atas tiga fondasi: kepastian, keadilan, dan akuntabilitas. Kepastian hukum memberi jaminan aturan yang jelas, keadilan memastikan tidak ada pihak yang diistimewakan, dan akuntabilitas menjamin bahwa uang pajak benar-benar kembali ke rakyat. Ketiganya harus berjalan bersama, bukan dipilih salah satu.

Akhirnya, hukum pajak adalah wajah negara di mata rakyat. Jika hukum ini ditegakkan dengan benar, masyarakat akan memandang pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan bentuk gotong royong modern untuk membiayai negara. Namun jika hukum pajak terus dipersepsikan timpang, kepercayaan akan terkikis dan kepatuhan sulit dibangun. Sudah saatnya kita menata ulang paradigma hukum pajak, dari sekadar pungutan menjadi simbol keadilan fiskal yang menyejahterakan.

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler